Penulis: Aprilia Ika Anjani
Sebagian besar masyarakat di
Indonesia masih menganggap bahwa kesuksesan seseorang selalu didasarkan pada
kecerdasan intelektual saja. Namun jika dipikirkan kembali, apa jadinya
seseorang yang memiliki kecerdasan intelektual namun tidak mampu mengendalikan
emosi dirinya sendiri. Yang terjadi justru orang tersebut yang dikendalikan
oleh emosinya, sehingga kemungkinan besar kegiatannya terhambat karena emosi
yang terlalu mengendalikan diri.
Sebelum membahas mengenai kecerdasan
emosional lebih lanjut, setidaknya kita harus mengerti dahulu apa sih emosi itu? Sebagian besar orang menganggap
emosi itu sebuah perbuatan yang berkaitan dengan amarah. Namun sebenarnya emosi
itu adalah sebuah perasaan yang timbul dari dalam diri seseorang, dan tidak
selalu timbul berupa amarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, emosi yaitu
suatu keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan,
kesedihan, keharuan, kecintaan).[1]
Selanjutnya
setelah kita memahami arti emosi sebenarnya, apa sih kecerdasan emosi itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan
kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar.
[2] Aristoteles, dalam The Nicomacean
Ethies, memberi pelajaran bahwa “Orang menjadi marah itu mudah, tetapi
marah dengan orang lain yang tepat, waktu yang tepat, dan dengan cara yang
tepat, maksud yang jelas itulah yang sangat sulit”. [3]
Sehingga dari beberapa pernyataan di atas dapat kita pahami bahwa
kecerdasan emosi merupakan suatu perbuatan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian
seseorang terhadap lingkungannya, serta berhubungan
dengan bagaimana cara kita untuk memahami orang lain, keadaan sekitar serta
lingkungan sekitar yang mengharuskan kita untuk berpikir rasional. Kemudian berdasarkan
pernyataan Aristoteles, seseorang dikategorikan memiliki kecerdasan emosional
yang baik saat seseorang tersebut mampu menyeimbangkan antara pikiran yang
logis dan emosinya.
Lebih jelasnya, Emotional Intellegence (EI) atau kecerdasan emosional diciptakan
oleh Peter Salovey dan John D. Mayer sebagai tantangan terhadap keyakinan bahwa
intelegensi tidak didasari oleh informasi yang berasal dari proses emosi.[4]
Kemudian istilah tersebut dipopulerkan oleh Daniel Goleman (1995), yang
selanjutnya menjadi semakin populer di berbagai penjuru dunia, terutama
Indonesia, setelah tulisan Daniel Goleman diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
ditahun 1996. Daniel Goleman mengutip berbagai penelitian yang ternyata menemukan
bahwa kecerdasan emosi memiliki peran sangat penting untuk sukses didunia
usaha.[5]
Seperti halnya IQ (Intellegent Quotient), apakah kecerdasan
berpikir seseorang dapat ditingkatkan? Jawabnya pun masih beragam. Ada ahli
yang menyatakan tidak bisa, ada pula yang menyatakan bisa saja. Tentu mereka
mempunyai argumen yang berbeda pula. Peter Salovey, dari Departemen Psikologi
Universitas Yale Amerika melalui ranah-ranah yang terkandung dalam emosi
memberi petunjuk sebagai berikut:
(1) Berusaha
menyadari diri, pemahaman diri, ketika menghadapi situasi tertentu: siapa, aku,
di mana aku, apa peranku, bagaimana keadaanku saat ini.
(2) Mengelola
emosi secara benar.
(3) Memotivasi
diri, dengan cita-cita atau tujuan yang jelas, seseorang akan terdorong untuk
berbuat sesuatu untuk mencapainya. Dengan selalu berlatih diri, selalu menetapkan
tujuan yang jelas, apa yang menjadi kebutuhannya, emosinya menjadi terarah,
sehingga tindakannya pun menjadi terarah,
(4) Berlatih
memahami orang lain, mencoba menjadikan orang lain menjadi diriku, berempati, tepa selira.
(5) Berusaha
selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain. Apabila hubungan seseorang
dengan orang lain itu baik, maka cenderung orang tersebut dapat mengendalikan
emosinya.[6]
Berikut
juga ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan
emosi dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan
lingkungan yang kondusif.
2. Menciptakan
iklim pembelajaran yang demokratis.
3. Mengembangkan
sikap empati, dan merasakan apa yang dirasakan oleh peserta didik.
4. Membantu
peserta didik menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya.
5. Melibatkan
peserta didik secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial
maupun emosional.
6. Merespon
setiap prilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon negatif.
7. Menjadi
teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran. (Goleman,2002)[7]
Penulis
berpendapat bahwa kecerdasan tidak hanya diukur dari segi intelektual saja,
namun kecerdasan emosional saat ini menjadi sesuatu yang penting untuk turut
memajukan pemikiran seseorang untuk mendorong menjadi seorang intellect. Sehingga berbagai kiat-kiat
muncul untuk meningkatkan kecerdasan emosi seseorang melalui berbagai cara,
seperti yang telah dikemukakan oleh Peter Salovey dan Goleman diatas. Sehingga
jika muncul pertanyaan, bisa atau tidak sih
kecerdasan emosional itu ditingkatkan? Tentu saja jawabannya bisa. Namun dibalik
kiat-kiat yang telah penulis paparkan masih perlu adanya motivasi diri untuk
turut serta membangun diri menjadi sosok yang cerdas dari segi emosional
melalui berbagai cara yang ada.
Kesimpulannya,
kecerdasan intelektual itu penting, namun dibalik hal tersebut kecerdasan emosi
juga sangat penting. Sehingga meningkatkan kecerdasan emosional juga sangat
perlu untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk dikatakan sebagai seseorang
dengan emotional intellegence-nya
yang tinggi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan
bermasyarakat, kecerdasan emosional sangat diperlukan untuk memahami berbagai
gejala sosial yang terjadi. Sehingga kita mampu untuk mengambil keputusan
dengan menyeimbangkan antara berpikir secara logika dan dari segi emosi.
Menurut saya orang yang mampu menyeimbangkannya lah yang mampu dikatakan
sebagai sesorang yang cerdas.
Referensi:
[1]
Pengertian emosi, Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Pengertian
kecerdasan emosional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3]
Meningkatkan Kecerdasan Emosional melalui Layanan Konseling Kelompok (Siti
Fitriana, Agus Suharno. Hal 2)
https://media.neliti.com/media/publications/146311-ID-meningkatkan-kecerdasan-emosional-melalu.pdf
[3]
Meningkatkan Kecerdasan Emosional melalui Layanan Konseling Kelompok (Siti
Fitriana, Agus Suharno. Hal 2)
https://media.neliti.com/media/publications/146311-ID-meningkatkan-kecerdasan-emosional-melalu.pdf
[4]
Buletin Psikologi 1998, NO.1, 21-31. “Kecerdasan Emosi”, Johana E. Prawitasari
(Hal 24) https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/13280/9503
[5]
Buletin Psikologi 1998, NO.1, 21-31.
“Kecerdasan Emosi”, Johana E. Prawitasari (Hal 21)
https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/viewFile/13280/9503
[6]
Meningkatkan Kecerdasan Emosional melalui Layanan Konseling Kelompok (Siti
Fitriana, Agus Suharno. Hal 7)
https://media.neliti.com/media/publications/146311-ID-meningkatkan-kecerdasan-emosional-melalu.pdf
[7]
“Mengelola Kecerdasan Emosi” (Ely Manizar
HM, Hal 14) http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/download/1168/987
Komentar
Posting Komentar